Indonesia itu tanah surga, begitu orang bilang. Sumber alam, potensi penduduk menjadi aset berharga yang niscaya. Sayang, selalu saja dilanda persoalan. Sejumlah kenyataan pahit celakanya adalah ulah para penguasa –figur– sendiri. Korupsi salah satu persoalan yang menjalar menuju titik kulminasi mungkin nantinya akan jatuh pada satu perhentian. Entah titik terang atau malah makin buram dan menghilang.
Belum lama pada 16/02/2012, bocah berusia delapan tahun dengan malu-malu berjalan sendiri menaiki sebuah angkutan kota. Ia membawa gitar kecil kopong diiringi rambut terkibas-kibas oleh angin. Sesaat setelah duduk dalam jajaran bangku, ia mendendangkan lagu dewasa yang populer di masa ini. Suaranya tak bagus, memetik gitar pun dengan nada tak jelas.
Namun bukan di situ letak permasalahannya! Adalah suatu kenyataan miris, di negara kaya raya ini, masih tersimpan bibit yang tak dipelihara. Padahal bibit itu bisa tumbuh menjadi bibit unggul produktif. Soal usia juga sangat disayangkan adanya. Kita sama-sama mengetahui, anak seusia itu baru lancar menulis, membaca serta menikmati masa bermain dengan teman namun ini malah harus membantu perekonomian keluarga. Alasannya lagi dan lagi, kemiskinan! Biaya hidup seakan perlahan mematahkan tulang rusuk rakyat.
Tercatat sudah setumpuk realita yang tak mungkin ditampik. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada tahun 2011 keluarga yang dianggap miskin adalah keluarga yang hanya berpengeluaran di bawah Rp. 934.960/keluarga per bulan atau setara dengan Rp 31.165/keluarga/hari dan jumlahnya mencapai 30,02 juta orang. Ya, lagi-lagi masih masalah klasik, kemiskinan dan kurangnya penyediaan lapangan pekerjaan. Sebab memang hal itulah semestinya menjadi corong perubahan keadaan republik ini.
Kembali fakta mencengangkan. Survei yang dilakukan sebuah lembaga masyarakat memaparkan, di Indonesia setiap tahunnya menghasilkan lulusan 12 juta sampai dengan(-) 14 juta orang. Sedangkan lowongan pekerjaan hanya mampu menampung sekitar 5% dari jumlah lulusannya. Karena itulah jumlah pengangguran di Indonesia tak tertahan pada Agustus 2011, data BPS mencatat, angka pengangguran telah mencapai 7,7 juta orang. Apakah kita hanya bisa memeluk lutut mengetahui semua ini?
Masih lukanya induk persoalan sosial ini menunjukan bahwa pemerintah ‘kurang’ fokus pada jalan masuk dan strategi penyelesaiannya. Artinya, keseimbangan dalam berpikir dan bertindak tegas sesuai porsinya. Pengambilan kebijakan pun seakan dirahasiakan (ditutup-tutupi) perencanaannya.
Belajar dari Kesalahan
Nampaknya negeri ini tak gentar dalam menapaki kehidupan. Indonesia bisa disebut ‘latah’. Faktanya kini induk persoalan sedang ditepis. Bermunculanlah runtutan aksi maut para pengguna lalu lintas. Sebelumnya, rentetan bencana alam disusul gembong teroris, mafia pajak, perebutan wilayah. Sampai skandal perselingkuhan, hal yang tak begitu berpengaruh terhadap kondisi ekonomi politik negara. Lain lagi dengan soal korupsi, penyakit kronis menahun yang tak jua musnah.
Satu ironis dibenturkan dengan kondisi bocah pengamen di atas, biaya hidup membakar tubuh, menjerat nadi. Apakah masih pantas toleransi kepada mereka para penipu rakyat? Pemerintah beserta rakyat agaknya sudah terlalu lelah menangkap konflik jiwa dan raga, sekarang salah satunya bersama lakukan kontemplasi khusyuk dengan hasil solutif. Tidakkah satu atmosfer pragmatis jika seseorang terperosok (meniru atau sebutannya ‘latah’) pada kesalahan lalu?
Meneguhkan Pijakan
Tak mungkin Indonesia selalu ingin meninggalkan jejak-jejak ironis. Menukil ujaran Denny Indrayana, demokrasi bukanlah kehidupan tanpa regulasi. Demokrasi adalah kehidupan dengan aturan main yang tepat. Negara demokratis membutuhkan adonan pas antara: kebebasan dan peraturan. Masalah utama segolongan kemiskinan, tak pantas disingkirkan dari kefokusan pemerintah.
Kembali pada akar kebangkitan bangsa, pendidikan. Tentu pendidikan yang demokratis. Seorang tenaga ahli konsultan teknologi BUMN asal Korsel datang ke Indonesia pada 1990-an. Semasa kecil ia sangat kagum pada Indonesia. Namun saat menjadi pembicara teknologi saat itu ia mengutarakan Indonesia tertinggal dari negara lain karena punya tiga masalah besar. Pertama, adalah “Pendidikan”, masalah kedua yakni “Pendidikan”. Masalah ketiga ialah “Pendidikan” (Pendidikan Karakter di Sekolah, 2010). Dengan ini pendidikan seharusnya bukanlah sekadar utopis bagi rakyat Indonesia, tanpa kecuali.
Semakin terbuka dan jelas arah negeri ini dalam berpijak. Sesuai landasan idiil, pemerintahlah sosok penanggung jawab. Pembuka akses pendidikan tinggi selebar-lebarnya bagi pemuda-rakyat Indonesia. Sedang rakyat sekreatif mungkin mengembangkan potensi. Kerja sama pemerintah dan rakyat begitu kuat mendombrak stigma lama.
Sungguh, segala sumber daya dapat menjelma penyokong kuat majunya negeri. Penting juga menjaga kepercayaan masyarakat. Satu tonggaknya ialah pendidikan demokratis, sebagai investasi besar. Negara akan mencapai kemajuan berarti. Sebaliknya, negara acuh tak acuh terhadap pendidikan maka tidak akan tercipta kualitas manusia dan masyarakatnya sebagai sumber kekuatan. Tak ada yang menginginkan bangsanya gundah gulana, bagai air di daun talas. Tak pernah ada!