Pages

Kamis, 30 Desember 2010

ANALISIS STRATA NORMA (FENOMENOLOGIS SAJAK “AKU LIRIK“) “GERIMIS RUMAH KABUT DAN AKU DI DALAMNYA” KARYA BODE RISWANDI

Bode Riswandi*

GERIMIS RUMAH KABUT
DAN AKU DI DALAMNYA
-Untuk Melianda EP-

gerimis melahirkan cuaca di rumahku
jalan-jalan hening dalam pelataran batin
menyisir nyanyian sungaiku

adalah gelisah yang meredam renungan saga
di antara ziarah kecil dan kumpulan jelaga
kabut ngalir menuju sesuatu yang senja

maka aku sembunyi di kaki langit yang gusar
dipalu sebaris doa di jalan-jalan sasar
kemudian hilang jadi bayang-bayang


2003


*kutipan penyair: Ini adalah sebuah sajak cinta. Kisah aku lirik dengan seseorang. Keduanya memiliki rasa yang sama, tapi kenyataan yang berkehendak bahwa keduanya tak bisa bersama. Namun, jauh setelah itu, justru kedekatan semakin kentara, ada sesuatu yang lebih akrab daripada sebelumnya, seperti rindu yang sama-sama dipendam. Dalam mengapresiasi atau menganalisis (kritik) pembaca diberikan kebebasan untuk mengartikan puisi di atas berdasarkan penafsiran masing-masing asal tidak terlalu menyimpang dari gagasan utama puisi secara keseluruhan.
-Bode Riswandi, 19 Desember 2010, 14:50 WIB.-



ANALISIS STRATA NORMA
(FENOMENOLOGIS SAJAK “AKU LIRIK“)
“GERIMIS RUMAH KABUT DAN AKU DI DALAMNYA” KARYA BODE RISWANDI


1. Lapis Bunyi
Sajak di atas merupakan satu kesatuan dari satuan-satuan suara: suara dari suku kata, kata dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Sebuah sajak ketika dibacakan tentu teradpat jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Suara-suara itu bukan tidak memiliki arti. Suara itu timbul dalam sajak berdasar konvensi bahasa yang ada sehingga menimbulkan arti. Orkestrasi bunyi adalah kombinasi bunyi yang meliputi semua persajakan tersebut. Kombinasi vokal disebut asonansi dan kombinasi konsonan disebut aliterasi.
Berikut analisis bunyi pada sajak “Gerimis Rumah Kabut dan Aku Di Dalamnya” karya Bode Riswandi,
• Bait ke-1
- Larik pertama terdapat asonansi u dan a,
- Larik kedua terdapat kombinasi bunyi sengau yang menimbulkan
pengucapan yang memanjang yakni n dan ng dikombinasi dengan
aliterasi l dan t.
- Larik ketiga ada asonansi a dan i: nyanyian sungaiku.
• Bait ke-2:
- Larik pertama terdapat asonansi e dan a, a dan a: meredam
renungan saga, perpaduan baris pertama terdapat aliterasi h dan g,
- Larik kedua aliterasi l dan g: kecil-kumpulan jelaga.
- Larik ketiga adanya asonansi a dan u: kabut-sesuatu, serta aliterasi ng dan j: ngalir-menuju-yang-senja.
• Bait ke-3:
- Larik pertama terdapat asonansi a dan i: kaki langit.

Selain itu, terdapat pola sajak akhir pada:
 bait ke-1 : ku-tin-ku
 bait ke-2 : ga-ga-ja
 bait ke-3 : sar-sar-yang
Pola persajakan akhir bait ke-1: a-b-a yang saling dipertentangkan. Rumahku-batin dan sungaiku. Bait ke-2 dan ke-3: a-a-a; saga-jelaga dan senja serta dipertentangkannya gusar-sasar dan bayang. Sajak ini didominasi dengan munculnya vokal bersuara berat yakni a dan u, terlihat pada bait ke-1 dan ke-2 yang dipergunakan sebagai perkuatan lambang rasa (sense). Adanya kombinasi bunyi ‘s’ pada bait ke-2 semakin menciptakan tempat yang menyudut (sempit). Begitu pun pada bait ke-3, kombiansi bunyi ‘s’, ‘y’, dan ‘ng’ memanjang dalam pelafalan dan suatu bentuk perasaan yang semakin memberat dan tak menentu.

2. Lapis Arti
Satuan terkecil dari fonem membentuk sebuah suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata/frase, kalimat, alinea, abit, bab, wacana, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan yang memiliki arti.
Analisis lapis arti pada sajak “Gerimis Rumah Kabut dan Aku Di Dalamnya” adalah sebagai berikut,
gerimis: air yang turun dari langit, tetapi tidak menderas.
melahirkan cuaca di rumahku: menimbulkan suatu situasi di sebuah rumah
jalan-jalan hening: jalanan/suasana yang sepi
pelataran batin: halaman/hamparan/keadaan dalam sebuah batin/jiwa
nyanyian sungaiku: lantunan yang dihasilkan oleh aliran sungai
renungan saga: merenung/memikirkan sebuah kisah (masa lalu)
ziarah kecil: kunjungan ke tempat yang dianggap keramat (atau mulia, makam, dsb).
kumpulan jelaga: kumpulan butiran arang yang halus dan lunak yang terjadi dari asap lampu atau lainnya, berwarna hitam; atau arang lampu.
kabut ngalir: awan yang melayang dekat tanah, kelam, tidak nyata mengalir
sesuatu yang senja: sesuatu yang menunjukkan bahwa waktu (hari) setengah gelap sesudah matahari terbenam.
aku sembunyi: aku menuju tempat yang tak terlihat
langit yang gusar: langit yang marah/berang
dipalu sebaris doa: dikuatkan dengan haturan doa-doa
jalan-jalan sasar: arah jalan yang sesat salah jalan
jadi bayang-bayang: menjelma menjadi

Bait ke-1 sajak ini ‘gerimis melahirkan cuaca di rumahku’ berarti: hujan rintik-rintik yang jatuh melahirkan cuaca atau situasi di sebuah rumahku. ‘jalan-jalan hening dalam pelataran batin’: jalanan/suasana di luar sepi dan sunyi yang tercipta pun teras di dalam jiwa/batin aku. Larik ke-3, ‘menyisir nyanyian sungaiku’: suara sungai yang dengan seksama mengalir seperti bernyanyi/melantun.
Bait ke-2 ‘adalah gelisah yang meredam renungan saga’ memiliki arti: kegelisahan hati yang memendam sebuah kisah. ‘di antara ziarah kecil dan kumpulan jelaga’: kegelisahan tersebut muncul di antara suasana luar rumah yang tertangkap oleh pandangan yakni orang-orang yang sedang melakukan ziarah/kunjungan dan diterangi/ditemani gumulan asap lampu yang hitam. Larik ketiga ‘kabut ngalir menuju sesuatu yang senja’ berarti: awan yang mulai kelam/samar berganti menjadi langit yang senja (matahari mulai tenggelam).
Bait ke-3 dalam sajak ini, larik pertama ‘ maka aku sembunyi di kaki langit yang gusar’ berarti: si aku berdiam diri di bawah naungan langit dan di dalam sebuah ruangan/rumah dengan kegelisahan/perasaan hati/batin yang memuncak dan memunculkan kemarahan akan keadaannya sendiri. Kemudian larik kedua ‘dipalu sebaris doa di jalan-jalan sasar’ memiliki arti: pada keadaan demikian, si aku dituntut untuk berdoa agar dapat menuntunnya sebab ia tengah berada di keadaan yang tidak tepat/ salah, agar kembali ke sikap yang seharusnya itu seperti apa. ‘kemudian hilang jadi bayang-bayang’ berarti: setelah si aku berdoa, angan-angan/perasaan yang kian mengganggunya pun hilang, yang tersisa hanyalah bayangan tentang itu.
Satuan-satuan Arti Estetis:
 Satuan arti dan satuan bunyi itu sesungguhnya tidak terpisahkan. Keduanya saling mendukung untuk menimbulkan ekspresivitas pengertian dalam sajak.
 Dalam sajak “Gerimis Rumah Kabut dan Aku Di Dalamnya” ini terdapat kata renungan saga dan kumpulan jelaga bukannya renungan malam atau hujan, atau kumpulan asap/kabut. Kemungkinan besar pilihan kata tersebut karena ingin dimunculkannya asonansi g yang berpengaruh kepada kekuatan alam yang kemudian merasuk kepada suasana keheningan batin si aku dalam sajak ini.

3. Lapis Dunia Pengarang
Objek-objek yang dikemukakan antara lain: gerimis, rumahku, jalan-jalan, batin, sungaiku, ziarah, jelaga, kabut, senja, kaki langit, doa, bayang-bayang. Pelaku atau tokoh: si aku. Latar waktu: di waktu senja. Latar tempat: di dalam sebangun rumah.
Dunia pengarang ialah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Berikut dunia pengarang (cerita) dari sajak “Gerimis Rumah Kabut dan Aku Di Dalamnya”,
Si aku berada di dalam rumah dan cuaca di luar sedang hujan gerimis. Suasana di jalanan pun sunyi sepi, tidak berbeda dengan perasaan/batin si aku pun demikian sepinya. Yang terdengar hanya suara aliran air sungai.
Rasa gelisah tengah menerpa si aku, yang memandang ke luar rumah memendam rasa rindu akan sebuah kisahnya yang telah lalu. Sementara itu, di antara orang-orang yang sedang melakukan kunjungan/ziarah dan kumpulan asap lampu yang menghitam, matahari pun mulai tenggelam (waktu senja).
Si aku terdiam, dan memarahi dirinya sendiri atas perasaan yang tidak seharusnya terjadi. Ia berdoa agar hatinya kembali dibimbing ke arah yang seharusnya. Dengan doanya tersebut, rasa dan lamunan itu pun menghilang.
4. Lapis Dunia Dilihat dari Sudut Pandang Tertentu yang Implisit
Sudut pandang tertentu mengatakan bahwa suasana yang ada dalam sajak ini cukup menambah kesunyian. Bait ke-1, larik pertama menyatakan ketika hatinya merasa sendiri didukung pula oleh suasana sekitar yang senyap. Hal itu terlihat pada larik: gerimis melahirkan cuaca di rumahku--jalan-jalan hening dalam pelataran batin. Kedua larik tersebut menyatakan suasana yang sunyi sepi, dan si aku merasa ada kehampaan dalam batin yang bersendiri. Larik kedua, menyatakan si aku memiliki konflik batin yang menerpa dan itu dirasa cukup memengaruhi hidupnya.
Larik ketiga, menyatakan bahwa suasana saat itu memang sangat sunyi, yang terdengar hanya suara aliran air sungai dekat pelataran/halaman rumah si aku.
Pada bait ke-2 dan 3, menyatakan bagaimana rasa gelisah memendam rasa rindu akan kisah yang ia alami itu tengah mendera dirinya. Ia hanya bisa diam termangu mengamati suasana di luar/halaman. Hingga pada akhirnya, ia tersadar bahwa dengan berdoalah ia dapat menendalikan kegelisahan hatinya dan mengarahkan hatinya untuk tetap mengikuti jalan hidup yang benar.

5. Lapis Metafisis
Lapis ini mengajak pembaca untuk berkontemplasi (merenung) atas hal-hal apa saja yang disampaikan sajak tersebut. Dalam sajak ini lapis metafisis berupa kisah kepiluan seorang anak manusia yang merenugi kisah yang pernah ia alami, timbullah konflik batin yang memendam rasa/kerinduan pada kisah tersebut. Namun, ketika manusia dirudung rasa yang tak menentu dan tidak tahu bagaimana cara mengatasinya, dan seberapa pun besarnya rasa itu, kuasa Tuhanlah yang dapat mengendalikannya dan kembali meluruskan arah tujuan manusia dalam melangkah, jangan terlena dalam keterpurukan rasa egoisme diri yang hanya sia-sia. Terlihat pada bait terakhir sajak “Gerimis Rumah Kabut dan Aku Di Dalamnya” ini, bahwa dengan berdoa dan berserah diri kepadaNyalah semua terasa lebih mudah/ringan/nyaman. Kita dapat mengetahui mana yang benar dan jalan mana yang seharusnya kita pilih menuju kehidupan di masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA


Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa. Bandung: Mizan Pustaka.
Power Point Presentasion “Analisis Fenomenologis Kajian Puisi Indonesia” oleh
Rudi A. Nugroho, M.Pd.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan
Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Riswandi, Bode. 2010. Mendaki Kantung Matamu. Bandung: Ultimus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar