A.Intertekstual Sastra
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi. (Ratna, 2004 : 173)
Mengenai keberadaan suatu hypogram dalam interteks, selanjutnya Riffaterre (dalam Ratna, 2005:222) mendifinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo (dalam Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang dipengaruhinya.
Frow (dalam Endraswara, 2003:131), mengemukakan interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut yakni:
1. Konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks,
2. Teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling
memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks,
3. Ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir
juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu,
4. Bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit
sampai implisit,
5. Hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang waktu
lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan juga sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu,
6. Pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap
penghilangan gaya maupun norma-norma sastra,
7. Dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan
8. Analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan lebih
terfokus pada pengaruh.
B. Hipotesis
Dari penjelasan tentang operasional kajian intertekstual naskah drama Sumbi dan Gigi Imitasi memiliki kesamaan unsur intrinsik dengan naskah aslinya, berupa penokohan. Di samping itu, kedua naskah ini juga memiliki beberapa perbedaan seperti alur dan konflik antartokoh. Maka, dapat dikatakan bahwa cerita Sumbi dan Gigi Imitasi merupakan negasi dari cerita legenda Sangkuriang.
Mengenai kejelasan perbedaan dan atau perbandingan antara kedua naskah, akan disertakan kemudian sebuah analisis intertekstual terhadap naskah-naskah tersebut.
C. Analisis Intertekstual Legenda Sangkuriang dalam Naskah Drama
Sumbi dan Gigi Imitasi
1. Asal-usul Dayang Sumbi dan Sangkuriang.
• Perbedaan
- Naskah Asli Legenda Sangkuriang.
Cerita dimulai dengan seoranng anak raja yang tidak beristri (karena membenci wanita) dan mempunyai kegemaran berburu. Pada suatu waktu ketika ia berburu di rimba larangan atau hutan keramat, ia membuang air kecil. Kebetulan pada saat itu ada seekor babi betina (yang sebenarnya seorang dewi yang terkena kutukan) meminum air kencing itu, lalu ia mengandung dan melahirkan anak perempuan. Anak perempuan ini dijumpai anak raja tadi, kemudian dipungutnya sebagai anak dan diberi nama Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi memiliki suami seekor anjing bernama Tumang, penjelmaan dari seorang dewa. Dari hasil perkawinan mereka terlahirlah seorang anak lelaki tampan bernama Sangkuriang.
- Naskah Sumbi dan Gigi Imitasi
Dalam naskah ini Sumbi langsung dipertemukan dengan Ahmad Sangku pada keadaan yang berbeda, di mana Sumbi berlaku sebagai juragan dan Ahmad Sangku sebagai pesuruhnya.
• Persamaan
Memiliki status yang sama-sama seorang diri, yakni Sumbi yang berstatus janda dan Sangkuriang berstatus perjaka.
2. Kisah Percintaan
• Perbedaan
- Naskah Asli Legenda Sangkuriang.
Naskah asli legenda Sangkuriang menceritkan seorang anak yakni Sangkuriang yang memiliki perasaan cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi dan berkeinginan kuat untuk menikahi Dayang Sumbi. Namun Dayang Sumbi menolak niatnya, karena ia mengetahui bahwa lelaki itu (Sangkuriang) adalah anak kandungnya.
- Naskah Sumbi dan Gigi Imitasi
Perasaan cinta yang mendalam dari seorang ibu, yakni Sumbi kepada seorang pria sampai-sampai pria itu sering kali menjelma dalam mimpi-mimpinya. Suatu waktu ia terbangun, dan merasa bahwa Ahmad Sangkulah pria yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya itu. Seketika ia menatap wajah Ahmad Sangku, dan menyebut bahwa Ahmad Sangku adalah anaknya. Hal itu disebabkan oleh adanya ciri-ciri khusus. Seperti apa yang sering dilakukan Ahmad Sangku dan apa yang dikenakannya,semua itu sama persis dengan anak kandung Sumbi yang telah lama berpisah. Akan tetapi, kenyataan itu tidak dihiraukan oleh Sumbi, ia tetap bersikeras untuk menikahi Ahmad Sangku.
• Persamaan
Fenomena cinta terlarang antara Ibu dengan anak kandungnya.
3. Penyebab Sangkuriang Tidak Memiliki Orang Tua.
• Perbedaan
- Naskah Asli Legenda Sangkuriang
Tumang adalah ayah kandung Sangkuriang yang merupakan jelmaan seorang dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing. Suatu hari Sangkuriang diperintahkan ibunya untuk berburu bersama Tumang. Namun karena pemburuan tidak juga mendapatkan hasil, Sangkuriang menyuruh Si Tumang untuk mengejar seekor babai betina, akan tetapi Si Tumang tidak menurut dan tetap berdiam diri, tentu saja hal itu membangkitkan amarah Sangkuriang, sehingga mengakibatkan anjing itu dibunuhnya kemudian diambilnya hati Si Tumang.
Sesampainnya di rumah, hati itu diberikannya kepada Dayang Sumbi untuk dimasak. Setelah mengetahui bahwa hati yang dimakannya itu sebenarnya hati Si Tumang, Dayang Sumbi marah besar tanpa berpikir panjang Dayang Sumbi langsung mengusir Sangkuriang.
- Naskah Sumbi dan Gigi Imitasi
Dalam naskah ini, disebutkan bahwa Sangkuriang adalah seorang anak yatim piatu sejak lahir.
• Persamaan
Sebenarnya, Sangkuriang memiliki orang tua yang memiliki nama yang sama antarnaskah yang satu dengan yang lain, yakni Tumang sebagai ayahnya dan nama penggalan ibunya, Sumbi.
4. Akhir Cerita
• Perbedaan
- Naskah Asli Legenda Sangkuriang
Dayang Sumbi memberikan syarat kepada Sangkuriang untuk membuat sebuah danau dan sebuah perahu dalam waktu satu malam,. Namun Dayang Sumbi menyiasatinya, Sangkuriang pun gagal memenuhi sayarat tersebut dan pada akhirnya perahu yang belum selesai dibuat itu ditendang Sangkuriang. Perahu tersebut jatuh tertelungkup dan akhirnya membentuk sebuah gunung berbentuk perahu terbalik yang kemudian hari bernama gunung tangkuban perahu.
- Naskah Sumbi dan Gigi Imitasi
Tidak diceritakan adanya keterkaitan cerita dengan asal-usul terciptanya gunung Tangkuban Perahu. Pada akhir kisah Sumbi diberi mas kawin berupa gigi palsu oleh Ahmad Sangku tetapi tidak diceritakan lebih lanjut apakah Sumbi menerima pinangannya atau tidak.
D. Kesimpulan
Intertekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Konsep ini menuntut peneliti untuk memahami teks tidak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks itu sendiri.
Naskah drama Sumbi dan Gigi Imitasi bertolak belakang dengan naskah drama Sangkuriang. Sehingga dapat diklasifikasikan dalam naskah yang bersifat negasi (bertentangan dengan teks asli).
Naskah drama Sumbi dan Gigi Imitasi yang memiliki akhir cerita yang menggantung ini membuktikan bahwa dalam penerapan teori interteks fungsi hypogram ialah sebagai petunjuk hubungan antarteks yang dimanfaatkan oleh pembaca, bukan penulis, sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan makna.
Selasa, 28 September 2010
Kajian Drama Teori Semiotika
II.I Teori Pendekatan
Pendekatan terhadap karya sastra dapat diartikan sebagai cara-cara menghampiri objek, atau jika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pendekatan berarti usaha, perihal mendekati objek. Pendekatan bertujuan untuk diposisikan sebagai pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pendekatan perlu dikemukakan dan dijelaskan secara luas dan mendasar dengan pertimbangan bahwa pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Adapun di dalamnya terkandung manfaat penelitian yang akan diharapkan, baik secara teoretis maupun praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun masyarakat pada umumnya. Kemungkinan-kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan, sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi berikutnya pun terkandung dalam sebuah pendekatan. Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan tersebut.
Pada dasarnya di dalam melakukan suatu penelitian, pendekatanlah yang terdahulu dibandingkan teori dan metode. Maka, pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan lebih dulu, kemudian diikuti dengan penentuan masalah teori, metode, dan tekniknya. Pendekatan yang diselaraskan dengan model situasi kesastraan Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna (2009:53) yakni pendekatan yang benar-benar ingin menjadi utuh setidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. mempunyai suatu cara pemahaman dan pengetahuan yang memadai tentang apakah yang disebut semesta dan juga keterhubungannya secara logis dengan karya sastra;
b. mempunyai suatu pengertian yang jelas mengenai pencipta seni, khususnya pengarang dan kepengarangan;
c. mempunyai metode dan perangkat konseptual yang mampu mengidentifikasikan efek-efek karya sastra terhadap pembaca dan penerimaan serta tnaggapan balik mereka sebagai sasaran dalam komunikasi sastra;
d. mampu mengidentifikasikan dan memerikan secara jelas pengertian karya sastra sebagai entitas tersendiri.
Sedemikian penjelasan di atas, maka model pendekatan sastra yang perlu dikemukakan, di antaranya: (1) pendekatan biografi sastra, (2) pendekatan sosiologi sastra, (3) pendekatan psikologi sastra, (4) pendekatan antropologi sastra, (5) pendekatan historis, (6) pendekatan mitopotik, (7) pendekatan ekspresif, (8) pendekatan mimesis, (9) pendekatan pragmatis, dan (10) pendekatan objektif.
Untuk penelitian analisis drama dengan menggunakan teori semiotik, penyusun memilih:
1. pendekatan psikologis,
2. pendekatan mitopotik, dan
3. pendekatan pragmatis.
II.II Teori Pengkajian
II.II.I Sejarah Teori Semiotika
Semiotika merupakan akibat langsung formalisme dan strukturalisme. Menurut Noth (ibid, 11) ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika dan hermeneutika. Culler (1997:6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986:54) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk kedalam bidang ilmu yang sama, sehingga dapat dioperasikan secara bersama-sama. Analisis semotika mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme. Semata-mata dalam hubungan ini, yaitu sebagai proses dan cara kerja analisis keduanya. Secara defintif, Paul Cobley dan Lita Janz (2004:4) semotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani yang berarti penafsiran tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Pemahaman dilakukan oleh mahzab Stoik dan kaum Epikurean di Athena sekitar abad ke-3 SM, khususnya oleh filsuf Philodemus, dalam kaitannya dengan perbedaan antara tanda alami dan tanda konvensional. Pada abad pertengahan adalah tanda-tanda konvensional, tanda-tanda yang didasarkan atas perjanjian, seperti yang dilakukan oleh St Agustinus (354-430), William of Ockam (1285-1346), John Locke (1632-1704). Menurut van Zoest (1993:1), semiotika memperoleh perhatian yang lebih serius abad ke-18. Saussure menggunakan istilah semiologi (sebagai mazhab Eropa Kontinental), sedangkan Peirce menggunakan istilah semiotika (sebagai mazhab Amerika, mazhab Anglo Sakson).Konsep-konsep Saussure (1998) terdiri atas pasangan beroposisi, tanda yang memiliki dua sisi, sebagai dikotomi, seperto petanda (signifier, significant, dan semaion) dan petanda (signified, signifie, semainomenon), ucapan individual (parole) dan bahasa umum (langue), sintagmatis dan paradigmatic dan diakroni dan sikroni. Menurut Aart van Zoest (1993:5-7), semiotika dapat dibadakan paling sedikit menjadi tiga aliran yaitu aliran semiotika komunikasi, semiotika konotatif, semiotika ekspansif.
II.II.II Tokoh Teori Semiotika
Pendiri semiotik di Amerika, yaitu filsuf C. S. Pierce, membedakan adanya tiga jenis dasar tanda. Ada ‘ikonis’, di mana tanda mirip dengan apa yang diwakilinya (foto mewakili orang, misalnya); ‘indeksikal’, di mana tanda diasosiasikan dengan apa yang ditandai olehnya (asap dengan api, bercak denan campak), dan ‘simbolis’, di mana, seperti halanya menurut Saussure, tanda hanya terhubung secara arbitrer atau konvensional dengan rujukannya. Menelusuri buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan-hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkem-bangan kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir sesu-dahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah Ferdinand de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik (oleh Ferdinand de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi, tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri -ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda (evolusi).
II.II.III Hakikat dan Pengertian Teori Semiotika
Secara definitive, menurut Paul Cobley dan Litza Janzz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi sistematis tentang produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara tanda-tanda itu bekerja, dan apa manfaatnya terhadap kehidupan. Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai “sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie). Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics mendefinisikan semiotika sebagai:
“ilmu yang memepelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda
dalam penggunaannya di dalam masyarakat”.
Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan. Tanda dan hubungan-hubungannya adalah kunci dari analisis semiotik. Di mana relasi tersebut kemudian memunculkan makna.
Semiotika sebagai ilmu mempunyai tiga fokus area pembelajaran, yaitu tanda, sistem yang mengaturnya, dan budaya dimana tanda tersebut berada. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi oleh indra. Umberto Eco menjelaskan lebih lanjut bahwa tanda adalah hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Hal ini berkaitan dengan definisinya tentang semiotika sebagai “teori kedustaan”. Tanda menurut Saussure terdiri atas dua unsur yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan penanda adalah aspek mental dari bahasa: gambaran mental, pikiran atau konsep. Secara bersamaan keduanya akan membuat suatu tanda.
Ada dua hal yang menyebabkan semiotika menarik bagi siapapun. Pertama, faktanya adalah telah terbukti semiotika memiliki wilayah kajian aplikatif yang mencakup semua disiplin. Kedua, hakikat semiotika sebagai ilmu yang menelaah produksi dan interpretasi tanda membuatnya sudah menarik sejak awal. Hakikat itu membawa semiotika pada pemahaman bahwa sesuatu yang disebut realitas itu tidak lain dari representasi. Artinya, realitas selalu merupakan versi seseorang atau suatu lembaga mengenai perkara yang tersaji sebagai realitas itu. Pada gilirannya, bisa kita pahami bila semiotika mengatakan bahwa apa yang dianggap realitas bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain.
II.II.IV Bidang-bidang Penerapan
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non-verbal. Pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan adanya tanda-tanda sebagai cirri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari komunikasi yang paling alamiah hingga system budaya yang paling kompleks, maka bidang penerapan semiotika pada dasarnya tidak terbatas.
Menurut Aart van Zoest (1993:102-151), secara akademis semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin, seperti arsitektur, perfilman, sandiwara, music, kebudayaan, interaksi social, psikologi, dan media massa. Semiotika budaya terlalu luas apabila dikaitkan dengan salah satu definisi kebudayaan maka semua model semiotika termasuk kedalam semiotika kebudayaan. Semiotika budaya yang dimaksudkan disini adalah tanda-tanda yang terkandung dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, yaitu manusia dengan berbagai tradisi dan adat kebiasaannya. Interaksi social terjadi sebagai akibat rangsangan dan interprestasi terhadap sistem tanda, baik tanda-tanda bahasa maupun nonbahasa. Komunikasi melalui bahasa, baik media lisan maupun tulisan dapat didentifikasi secara jelas dan langsung.
Semiotika psikologi berkaitan dengan psike individu dalam rangka menunjukan identitasnya terhadap orang lain. Menurut van Zoest tanda-tanda psikologis harus digali melalui dan di dalam ketaksadaran, yang kemudian tampak dalam kesadaran, pada tingkah laku secara kongkret. Semiotika psikologis memiliki kaitan dengan teori mengenai dorongan psikologis individual Freudian dan ketaksadaran kolektif Jungian. Semiotika media massa terutama menganalisis tanda-tanda yang hadir dalam surat kabar, radio, dan televisi.
A. Semiotika Sastra
Kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia. Sebagian besar, bahkan keseluruhan aktivitas manusia pada dasarnya dilakukan melalui bahas,a baik bahasa lisan maupun tulisan. Pada dasarnya bahasa merupakn konservasi yang paling kuat terhadap kebudayaan manusia. Tanpa bahasa sesungguhnya kebudayaan, dan dengan demikian dunia ini tidak ada. Bahasa sastra sebagai system model kedua, sebagaimana diintroduksi oleh Lotmann (1997:15), metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya, bukanlah bahasa biasa, melainkan system komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan. Bahasa sastra adalah kebudayaan itu sendiri. Bahasa adalah system tanda, menurut Noth (1990:42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir hanya dalam pikiran penafsiran. Sebagai ilmu, semiotika termasuk ilmu imperialistic sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang yang berbeda termasuk gejala-gejala kebudayaan kontemporer.
Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri. Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna tanda-tanda nonverbal. Teks sastra pun memiliki ciri-ciri qualisigns, sinsigns, legisigns. Qualisigns adalah citra, ide, dunia kemungkinan, dan akan menjadi nyata apabila dimasukkan kedalam sinsigns. Sinsigns adalah tampilan dalam kenyataan, tanda tak terlembagakan, tanda tanpa kode. Legisigns adalah tanda yang sudah terlembagakan, tanda atas dasar peraturan yang berlaku umum. Denotatum karya sastra adalah dunia fiksional, dunia dalam kata-kata, dunia kemungkinan. Tiga sifat denotatum, yaitu: ikon, indeks, dan symbol.
Menurut van Zoest (1993:86), dalam teks sastra diantaranya ketiganya ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon, yaitu ikon topografis, ikon diagramatis, ikon metaforis. Teks secara keseluruhan memiliki ciri-ciri indeksikal sebab teks berhubungan dengan dunia yang disajikannya. Dikaitkan dengan teks sebagai unsur-unsur karya, sebagai indeksikal mikro, juga dibedakan atas tiga macam, yaitu: a) indeks dalam kaitannya dengan dunia diluar teks, b) indeks dalam kaitannya dengan teks lain sebagai interkstual, dan c) indeks dalam kaitannya dengan teks dalam teks, sebagai intratekstual.
Sebagai prasyarat komunikasi, Edmund Leach (1976:15-16), membedakan antara symbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal menunjukan hubungan dua gejala secara mekanisme dan otomatis. Symbol ditandai oleh dua ciri, yaitu: a) antara penanda dan petanda tak ada hubungan intrinsic sebelumnya, b) penanda dan petanda merupakan konteks kultural yang sama.Orang itu bernama Amat ,Amat dianggap symbol,sedangkan binatang itu adalah kuda ,kuda dianggap sebagai tanda.Nama tertentu (Amat) dianggap sebagai symbol,sedangkan klasifikasi (kuda) dianggap sebagai tanda.
Equivalensi antara simbol dengan tanda:
Simbol Tanda
• Metaforik metonimik
• Paradigmatis sintagmatis
• Harmoni (simultan) relasi (berurutan)
B. Semiotika Sosial
Sebagai metode mikroskopis,strukturalisme dianggap mengingkari peranan subjek,baik pengarang sebagai subjek individual maupun masyarakat sebagai subjek transindividual. Oleh karena itulah,metode dan teori strukturalisme dianggap antihumanis.Semiotika memberikan jalan ke luar dengan cara mengembalikan objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Argumentasi yang dikemukakan dalam teori semiotika adalah asumsi bahwa karya seni merupakan proses komunikasi,karya seni dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima.
Semiotika sosial, menurut salah seorang pelopornya,yaitu Haliday (1992:3-8), adalah semiotika itu sendiri,dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis.Sebagai ilmu tanda ,semiotika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks,di mana tanda-tanda tersebut difungsikan.
Implikasi lebih jauh terhadap semiotika sosial sebagai ilmu,teks dan konteks sebagai objek adalah metode yang harus dilakukan dalam proses pemahaman.Dalam kaitannya dengan semiotika sosial, Haliday (1992:16-18) mendeskripsikan tiga model hubungan teks,yaitu: a) medan, sebagai ciri-ciri semantik teks , b) pelaku,yaitu orang-orang yang terlibat, c) sarana,yaitu cirri-ciri yang diperankan oleh bahasa.
Menurut Berger dan Lucmann (1973:13) kenyataan dengan demikian dibangun secara sosial ,kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak tergantung dari kehendak subjek.Secara analogi dapat dikatakan bahwa teks bermakna dalam konteks social tertentu,konteks mendahului teks. Sebagai kajian akademis,sepert disinggung di atas,semiotika sosial dimaksudkan sebagai langkah-langkah dalam memanfaatkan sistem tanda bahasa dan sastra sekaligus kaitannya dengan kaitannya dengan kenyataan diluarnya yaitu masyarakat itu sendiri.
Perbedaanya semiotika sosial tetap berada dalam sistem tanda, dengan sendirinya dengan memanfaatkan teori-teori semiotika, sedangkan sosiologi sastra berangkat dari asumsi–asumsi dasar hubungan sastra dengan masyarakat,saling mempengaruhi di antara keduanya,dan sebagainya. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra.
Pendekatan terhadap karya sastra dapat diartikan sebagai cara-cara menghampiri objek, atau jika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pendekatan berarti usaha, perihal mendekati objek. Pendekatan bertujuan untuk diposisikan sebagai pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pendekatan perlu dikemukakan dan dijelaskan secara luas dan mendasar dengan pertimbangan bahwa pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Adapun di dalamnya terkandung manfaat penelitian yang akan diharapkan, baik secara teoretis maupun praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun masyarakat pada umumnya. Kemungkinan-kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan, sehubungan dengan dana, waktu, dan aplikasi berikutnya pun terkandung dalam sebuah pendekatan. Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan tersebut.
Pada dasarnya di dalam melakukan suatu penelitian, pendekatanlah yang terdahulu dibandingkan teori dan metode. Maka, pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan lebih dulu, kemudian diikuti dengan penentuan masalah teori, metode, dan tekniknya. Pendekatan yang diselaraskan dengan model situasi kesastraan Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna (2009:53) yakni pendekatan yang benar-benar ingin menjadi utuh setidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. mempunyai suatu cara pemahaman dan pengetahuan yang memadai tentang apakah yang disebut semesta dan juga keterhubungannya secara logis dengan karya sastra;
b. mempunyai suatu pengertian yang jelas mengenai pencipta seni, khususnya pengarang dan kepengarangan;
c. mempunyai metode dan perangkat konseptual yang mampu mengidentifikasikan efek-efek karya sastra terhadap pembaca dan penerimaan serta tnaggapan balik mereka sebagai sasaran dalam komunikasi sastra;
d. mampu mengidentifikasikan dan memerikan secara jelas pengertian karya sastra sebagai entitas tersendiri.
Sedemikian penjelasan di atas, maka model pendekatan sastra yang perlu dikemukakan, di antaranya: (1) pendekatan biografi sastra, (2) pendekatan sosiologi sastra, (3) pendekatan psikologi sastra, (4) pendekatan antropologi sastra, (5) pendekatan historis, (6) pendekatan mitopotik, (7) pendekatan ekspresif, (8) pendekatan mimesis, (9) pendekatan pragmatis, dan (10) pendekatan objektif.
Untuk penelitian analisis drama dengan menggunakan teori semiotik, penyusun memilih:
1. pendekatan psikologis,
2. pendekatan mitopotik, dan
3. pendekatan pragmatis.
II.II Teori Pengkajian
II.II.I Sejarah Teori Semiotika
Semiotika merupakan akibat langsung formalisme dan strukturalisme. Menurut Noth (ibid, 11) ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika dan hermeneutika. Culler (1997:6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986:54) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk kedalam bidang ilmu yang sama, sehingga dapat dioperasikan secara bersama-sama. Analisis semotika mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme. Semata-mata dalam hubungan ini, yaitu sebagai proses dan cara kerja analisis keduanya. Secara defintif, Paul Cobley dan Lita Janz (2004:4) semotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani yang berarti penafsiran tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Pemahaman dilakukan oleh mahzab Stoik dan kaum Epikurean di Athena sekitar abad ke-3 SM, khususnya oleh filsuf Philodemus, dalam kaitannya dengan perbedaan antara tanda alami dan tanda konvensional. Pada abad pertengahan adalah tanda-tanda konvensional, tanda-tanda yang didasarkan atas perjanjian, seperti yang dilakukan oleh St Agustinus (354-430), William of Ockam (1285-1346), John Locke (1632-1704). Menurut van Zoest (1993:1), semiotika memperoleh perhatian yang lebih serius abad ke-18. Saussure menggunakan istilah semiologi (sebagai mazhab Eropa Kontinental), sedangkan Peirce menggunakan istilah semiotika (sebagai mazhab Amerika, mazhab Anglo Sakson).Konsep-konsep Saussure (1998) terdiri atas pasangan beroposisi, tanda yang memiliki dua sisi, sebagai dikotomi, seperto petanda (signifier, significant, dan semaion) dan petanda (signified, signifie, semainomenon), ucapan individual (parole) dan bahasa umum (langue), sintagmatis dan paradigmatic dan diakroni dan sikroni. Menurut Aart van Zoest (1993:5-7), semiotika dapat dibadakan paling sedikit menjadi tiga aliran yaitu aliran semiotika komunikasi, semiotika konotatif, semiotika ekspansif.
II.II.II Tokoh Teori Semiotika
Pendiri semiotik di Amerika, yaitu filsuf C. S. Pierce, membedakan adanya tiga jenis dasar tanda. Ada ‘ikonis’, di mana tanda mirip dengan apa yang diwakilinya (foto mewakili orang, misalnya); ‘indeksikal’, di mana tanda diasosiasikan dengan apa yang ditandai olehnya (asap dengan api, bercak denan campak), dan ‘simbolis’, di mana, seperti halanya menurut Saussure, tanda hanya terhubung secara arbitrer atau konvensional dengan rujukannya. Menelusuri buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan-hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkem-bangan kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir sesu-dahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah Ferdinand de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik (oleh Ferdinand de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi, tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri -ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda (evolusi).
II.II.III Hakikat dan Pengertian Teori Semiotika
Secara definitive, menurut Paul Cobley dan Litza Janzz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi sistematis tentang produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara tanda-tanda itu bekerja, dan apa manfaatnya terhadap kehidupan. Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai “sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie). Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics mendefinisikan semiotika sebagai:
“ilmu yang memepelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda
dalam penggunaannya di dalam masyarakat”.
Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan. Tanda dan hubungan-hubungannya adalah kunci dari analisis semiotik. Di mana relasi tersebut kemudian memunculkan makna.
Semiotika sebagai ilmu mempunyai tiga fokus area pembelajaran, yaitu tanda, sistem yang mengaturnya, dan budaya dimana tanda tersebut berada. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi oleh indra. Umberto Eco menjelaskan lebih lanjut bahwa tanda adalah hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Hal ini berkaitan dengan definisinya tentang semiotika sebagai “teori kedustaan”. Tanda menurut Saussure terdiri atas dua unsur yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan penanda adalah aspek mental dari bahasa: gambaran mental, pikiran atau konsep. Secara bersamaan keduanya akan membuat suatu tanda.
Ada dua hal yang menyebabkan semiotika menarik bagi siapapun. Pertama, faktanya adalah telah terbukti semiotika memiliki wilayah kajian aplikatif yang mencakup semua disiplin. Kedua, hakikat semiotika sebagai ilmu yang menelaah produksi dan interpretasi tanda membuatnya sudah menarik sejak awal. Hakikat itu membawa semiotika pada pemahaman bahwa sesuatu yang disebut realitas itu tidak lain dari representasi. Artinya, realitas selalu merupakan versi seseorang atau suatu lembaga mengenai perkara yang tersaji sebagai realitas itu. Pada gilirannya, bisa kita pahami bila semiotika mengatakan bahwa apa yang dianggap realitas bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain.
II.II.IV Bidang-bidang Penerapan
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non-verbal. Pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan adanya tanda-tanda sebagai cirri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari komunikasi yang paling alamiah hingga system budaya yang paling kompleks, maka bidang penerapan semiotika pada dasarnya tidak terbatas.
Menurut Aart van Zoest (1993:102-151), secara akademis semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin, seperti arsitektur, perfilman, sandiwara, music, kebudayaan, interaksi social, psikologi, dan media massa. Semiotika budaya terlalu luas apabila dikaitkan dengan salah satu definisi kebudayaan maka semua model semiotika termasuk kedalam semiotika kebudayaan. Semiotika budaya yang dimaksudkan disini adalah tanda-tanda yang terkandung dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, yaitu manusia dengan berbagai tradisi dan adat kebiasaannya. Interaksi social terjadi sebagai akibat rangsangan dan interprestasi terhadap sistem tanda, baik tanda-tanda bahasa maupun nonbahasa. Komunikasi melalui bahasa, baik media lisan maupun tulisan dapat didentifikasi secara jelas dan langsung.
Semiotika psikologi berkaitan dengan psike individu dalam rangka menunjukan identitasnya terhadap orang lain. Menurut van Zoest tanda-tanda psikologis harus digali melalui dan di dalam ketaksadaran, yang kemudian tampak dalam kesadaran, pada tingkah laku secara kongkret. Semiotika psikologis memiliki kaitan dengan teori mengenai dorongan psikologis individual Freudian dan ketaksadaran kolektif Jungian. Semiotika media massa terutama menganalisis tanda-tanda yang hadir dalam surat kabar, radio, dan televisi.
A. Semiotika Sastra
Kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia. Sebagian besar, bahkan keseluruhan aktivitas manusia pada dasarnya dilakukan melalui bahas,a baik bahasa lisan maupun tulisan. Pada dasarnya bahasa merupakn konservasi yang paling kuat terhadap kebudayaan manusia. Tanpa bahasa sesungguhnya kebudayaan, dan dengan demikian dunia ini tidak ada. Bahasa sastra sebagai system model kedua, sebagaimana diintroduksi oleh Lotmann (1997:15), metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya, bukanlah bahasa biasa, melainkan system komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan. Bahasa sastra adalah kebudayaan itu sendiri. Bahasa adalah system tanda, menurut Noth (1990:42), tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir hanya dalam pikiran penafsiran. Sebagai ilmu, semiotika termasuk ilmu imperialistic sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang yang berbeda termasuk gejala-gejala kebudayaan kontemporer.
Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri. Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna tanda-tanda nonverbal. Teks sastra pun memiliki ciri-ciri qualisigns, sinsigns, legisigns. Qualisigns adalah citra, ide, dunia kemungkinan, dan akan menjadi nyata apabila dimasukkan kedalam sinsigns. Sinsigns adalah tampilan dalam kenyataan, tanda tak terlembagakan, tanda tanpa kode. Legisigns adalah tanda yang sudah terlembagakan, tanda atas dasar peraturan yang berlaku umum. Denotatum karya sastra adalah dunia fiksional, dunia dalam kata-kata, dunia kemungkinan. Tiga sifat denotatum, yaitu: ikon, indeks, dan symbol.
Menurut van Zoest (1993:86), dalam teks sastra diantaranya ketiganya ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon, yaitu ikon topografis, ikon diagramatis, ikon metaforis. Teks secara keseluruhan memiliki ciri-ciri indeksikal sebab teks berhubungan dengan dunia yang disajikannya. Dikaitkan dengan teks sebagai unsur-unsur karya, sebagai indeksikal mikro, juga dibedakan atas tiga macam, yaitu: a) indeks dalam kaitannya dengan dunia diluar teks, b) indeks dalam kaitannya dengan teks lain sebagai interkstual, dan c) indeks dalam kaitannya dengan teks dalam teks, sebagai intratekstual.
Sebagai prasyarat komunikasi, Edmund Leach (1976:15-16), membedakan antara symbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal menunjukan hubungan dua gejala secara mekanisme dan otomatis. Symbol ditandai oleh dua ciri, yaitu: a) antara penanda dan petanda tak ada hubungan intrinsic sebelumnya, b) penanda dan petanda merupakan konteks kultural yang sama.Orang itu bernama Amat ,Amat dianggap symbol,sedangkan binatang itu adalah kuda ,kuda dianggap sebagai tanda.Nama tertentu (Amat) dianggap sebagai symbol,sedangkan klasifikasi (kuda) dianggap sebagai tanda.
Equivalensi antara simbol dengan tanda:
Simbol Tanda
• Metaforik metonimik
• Paradigmatis sintagmatis
• Harmoni (simultan) relasi (berurutan)
B. Semiotika Sosial
Sebagai metode mikroskopis,strukturalisme dianggap mengingkari peranan subjek,baik pengarang sebagai subjek individual maupun masyarakat sebagai subjek transindividual. Oleh karena itulah,metode dan teori strukturalisme dianggap antihumanis.Semiotika memberikan jalan ke luar dengan cara mengembalikan objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Argumentasi yang dikemukakan dalam teori semiotika adalah asumsi bahwa karya seni merupakan proses komunikasi,karya seni dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima.
Semiotika sosial, menurut salah seorang pelopornya,yaitu Haliday (1992:3-8), adalah semiotika itu sendiri,dengan memberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis.Sebagai ilmu tanda ,semiotika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks,di mana tanda-tanda tersebut difungsikan.
Implikasi lebih jauh terhadap semiotika sosial sebagai ilmu,teks dan konteks sebagai objek adalah metode yang harus dilakukan dalam proses pemahaman.Dalam kaitannya dengan semiotika sosial, Haliday (1992:16-18) mendeskripsikan tiga model hubungan teks,yaitu: a) medan, sebagai ciri-ciri semantik teks , b) pelaku,yaitu orang-orang yang terlibat, c) sarana,yaitu cirri-ciri yang diperankan oleh bahasa.
Menurut Berger dan Lucmann (1973:13) kenyataan dengan demikian dibangun secara sosial ,kenyataan dengan kualitas mandiri yang tak tergantung dari kehendak subjek.Secara analogi dapat dikatakan bahwa teks bermakna dalam konteks social tertentu,konteks mendahului teks. Sebagai kajian akademis,sepert disinggung di atas,semiotika sosial dimaksudkan sebagai langkah-langkah dalam memanfaatkan sistem tanda bahasa dan sastra sekaligus kaitannya dengan kaitannya dengan kenyataan diluarnya yaitu masyarakat itu sendiri.
Perbedaanya semiotika sosial tetap berada dalam sistem tanda, dengan sendirinya dengan memanfaatkan teori-teori semiotika, sedangkan sosiologi sastra berangkat dari asumsi–asumsi dasar hubungan sastra dengan masyarakat,saling mempengaruhi di antara keduanya,dan sebagainya. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra.
Langganan:
Postingan (Atom)